Skip to main content

Posts

Showing posts with the label Artikel Desa

Pengangguran, Kemiskinan dan Proletarisasi di Perdesaan

Kendati kondisi perekonomian mulai membaik, tetapi masalah kemiskinan dan pengangguran masih menghantui masyarakat, khususnya di daerah perdesaan. Data BPS menyebutkan, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) per Agustus 2018 sebesar 5,34 persen (7,001 juta orang) –sebagian besar berada di desa. Menurut BPS, sebanyak 4,04 persen pengangguran ada di desa. Angka ini naik tipis dibandingkan periode yang sama tahun 2017, yaitu sebesar 4,01 persen (beritagar.id, 6 November 2018). Selain pengangguran yang naik tipis, kesejahteraan warga desa dilaporkan juga menurun. Seperti dilaporkan BPS, nilai tukar petani (NTP) secara nasional turun dari 102,04 pada Juni 2018 menjadi 101,66 pada Juli 2018. Ketika harga jual komoditi yang dihasilkan petani hanya naik 0,28, sementara harga barang dan jasa yang harus dibayar dan dikonsumsi petani naik 0,66 persen, maka bisa dipahami jika kondisi ekonomi warga desa saat ini cenderung makin memprihatinkan. Berdasarkan data BPS, persentase penduduk miskin di daerah

Resolusi Implementasi Dana Desa 2017

“Korupsi dana desa atau alokasi dana desa cenderung meningkat seiring dengan kontrol dan partisipasi yang lemah masyarakat desa.” Dana Desa/Ilustrasi Pemerintah pusat berencana menaikkan volume dana transfer ke desa atau dikenal sebagai dana desa menjadi Rp 60 triliun pada 2017. Dengan anggaran Rp 60 triliun bagi 74.000 desa seluruh Indonesia, tiap desa minimal akan mendapatkan jatah anggaran Rp 800 juta/ tahun. Hal itu akan menambah pos pendapatan APBDes yang diperkirakan Rp 1,5 miliar - Rp 2 miliar. Alokasi anggaran dana desa (DD) dari APBN 2016 sebesar Rp 46,7 triliun telah sukses berhasil memperkuat postur APBDes. APBDes untuk setiap desa di Jawa rata-rata memiliki pos pendapatan hampir Rp 1 miliar. Mengingat selain memperoleh dana desa dari Pemerintah Pusat, desa juga mendapat kucuran dana transfer daerah dari persentase dana alokasi umum minimal 10% dikurangi beban belanja pegawai. Rata-rata desa di Jawa Tengah pos pendapatan dana transfer daerah atau yang dikenal Alokasi Dana De

Efektivitas Kelola Dana Desa

Pemerintah pusat merencanakan menambah alokasi anggaran dana desa untuk tahun 2017 jadi Rp 60 triliun. Alokasi anggaran Rp 60 triliun merupakan peningkatan signifikan dari volume anggaran Rp 46,7 triliun yang diperuntukkan bagi 74.000 desa selama tahun 2016. Belum cukup dengan rencana anggaran Rp 60 triliun, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi atau PDTT juga menebar janji akan mengalokasikan dana desa Rp 120 triliun tahun 2018. Desa Berdaulat/Ilustrasi: Ist Janji manis peningkatan besaran transfer fiskal dana desa merupakan simalakama politik. Pemerintah pusat terlampau menganggap mudah implementasi pengelolaan dana desa yang di tingkat bawah masih banyak kelemahan dalam hal teknis dan orientasi kepatuhan pada regulasi. Belum lagi, kucuran dana desa meningkatkan tendensi korupsi di lingkup pemegang kuasa pengelolaan dana desa. Dalam realitas, pengelolaan dana desa yang diatur dalam Permendagri Nomor 113 Tahun 2015 banyak dimensi kelemahan. Kelemahan ini m

Reformasi Koperasi untuk Ekonomi Desa

Dalam visinya koperasi dicita- citakan sebagai "soko guru perekonomian Indonesia". Namun, dalam realitasnya hinggakini, koperasi baru hanya menjadi "sapu lidi" yang menghimpun yang kecil dan lemah. Padahal, menurutKetua Dekopin Nurdin Halid, koperasi "pilar negara". Bersama sektor negara dan sektor swasta, koperasi berada di buritan perkembangan ekonomi nasional. Mengingat usinya yang hampir satu abad sejak tahun 1947, gerakan koperasi tidak bisa hanya merasa prihatin, tetapi juga harus memikirkan suatu gerakan reformasi dengan memahami persoalan yang dihadapi guna melakukan repositioning dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Pokok persoalan Walaupun dalam kenyataannya, koperasi merupakan sektor yang paling tertinggal, pemerintah sering membanggakan "prestasi" koperasi, yang jumlah unitnya mencapai 209.488 dan anggotanya mencapai 36.443.953 pada tahun 2014. Namun, jika dihitung rata-rata jumlah anggotanya, hanya 174 orang per unit. Padahal, pada m

Korupsi Anggaran Desa

Praktik korupsi anggaran desa semakin meningkat sejalan dengan membesarnya kucuran dana transfer pusat dan daerah. Dana transfer dari pemerintah pusat, yakni dana desa, tahun 2016 sebesar Rp 46,7 triliun yang diberikan bagi sekitar 74.000 desa seluruh Indonesia. Ilustrasi/Anak Desa Setiap desa denganrumus perhitungan anggaran mendapatkan kucuran dana desa (DD) rata-rata Rp 650 juta per tahun. Sementara kucuran dana transfer daerah dalam wujud alokasi dana desa (ADD) bervariasi besarannya. Di Jawa Tengah, besaran ADD setiap desa rata-rata Rp 100 juta-Rp 400 juta per tahun. Postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dari sisi penerimaan hampir mencapai Rp 1 miliar, yang bersumber dari DD, ADD, ataupun dana bagi hasil pajak daerah. Anggaran sebesar itu mendorong perilaku penyimpangan anggaran oleh jajaran aparatur desa, khususnya kepala desa. Alhasil, seperti diberitakan harian ini, praktik korupsi DD dengan aktor kepala desa dan perangkat desa kurun 2015-2016 semakin sering te

Desa dalam Rezim Pemerintahan

Seraya membuka pintu calon kepala desa dari luar wilayah, Mahkamah Konstitusi menegaskan desa sebagai mata rantai terbawah rezim pemerintahan. Tafsir MK ini condong kepada paradigma local self-government ketimbang self-governing community sebagaimana termaktub pada penjelasan UU No 6/2014 tentang Desa. Ilustrasi Tindak lanjut putusan MK dalam edaran Kemendagri terfokus pada kebebasan calon luar dalam pemilihan kepala desa. Ini tidak memadai karena MK menorehkan yurisprudensi tata kelola desa masuk hierarki pemerintahan. Guna mengantisipasi efek negatif birokratisasi atas ke bawah ini, deliberasi politik harus dikembangkan sampai ke desa. Putusan MK Sejak 1970-an, percepatan kemajuan desa dilumasi pihak luar, seperti pedagang dan penyuluh lapangan. Migran asal desa juga mengobarkan pembaruan. Inilah basis sosiologis saat MK menganulir Pasal 50 UU No 6/2014. Mulai 23 Agustus 2016, peserta pilkades boleh dari luar desa. Di sisi seberang, putusan MK membuka peluang calon titipan pejabat ka

BPD, Lembaga Demokrasi Desa yang Terlupakan

Lemahnya fungsi BPD dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dikhawatirkan akan mengganggu mekanisme check and balances , sehingga pada gilirannya kekuasaan pemerintah desa lebih dominan. Melalui asas rekognisi dan subsidiaritas, UU No. 6/2014 tentang Desa (UU Desa) mengusung semangat penguatan Desa sebagai entitas yang mandiri, yaitu suatu entitas yang dapat menyelenggarakan urusannya sendiri tanpa campur tangan berlebih dari pemerintah (supra desa). Dalam mengatur urusannya sendiri itulah Desa diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan desa yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, dimana warga desa memiliki kedudukan yang setara dengan pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Dalam konteks ini Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menjadi penting karena keberadaannya sebagai representasi warga desa. Demokrasi desa sendiri sejatinya telah diafirmasi sejak awal reformasi bergulir, tepatnya melalui UU No. 22/1999. Didorong oleh semangat mengevaluasi pe

Dana Desa dan Perlindungan Anak

Dengan diundangkannya Undang - Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka desa-desa di Indonesia memiliki kemandirian terutama dalam soal keuangan. Pada masa lalu desa hanya memiliki sumber pendapatan dari alokasi dana desa yang diberikan dari APBD Kabupaten dan pendapatan asli desa (PAD) yang dikelola menjadi APBDes. Kini desa juga mendapat dana desa yang merupakan kucuran dana dari pusat yang jumlahnya bervariasi antara Rp 600 juta sampai Rp 1 miliar. Selain persoalan fisik desa, saat ini banyak desa berhadapan dengan masalah perlindungan anak yang kian kompleks terutama kekerasan kepada anak dan perempuan, Mulai dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, pemerkosaan, eksploitasi hingga penelantaran anak. Dalam kasus ini, desa menjadi ujung terdepan pelayanan pemerintah paling dekat berhubungan dengan anak. Kasus-kasus itu juga terjadi di desa dan mau tidak mau desa harus meresponsnya. Komite Desa Tidak bisa dihindari bila desa memiliki keterbatasan terkait dengan pe

BUMDes Bukan Bancakan

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah badan usaha yang dikelola masyarakat bersama pemerintah desa yang keuntungannya dipergunakan untuk menjadi pendapatan desa dan kemudian dijadikan anggaran dalam membangun Desa. Kehadiran BUMDes menjadi angin segar bagi pencepatan terciptanya kemajuan desa karena  BUMDes selain berorientasi keuntungan, juga berorientasi sosial yang menjadi salah satu ciri kehidupan di Desa. BUMDesa/Ilustrasi: Blogger Desa Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah untuk mempercepat pendirian BUMDes, salah satunya menetapkan target pendirian BUMDes di seluruh Indonesia pada ahir 2016. Di level provinsi, juga terlihat upaya untuk itu, yaitu dengan menyelenggarakan pelatihan yang di ikuti oleh aparatur kabupaten, kecamatan, bahkan desa.  Seolah takut akan target jumlah desa yang memiliki BUMDes tidak terpenuhi di 2016, pemerintah kabupaten juga membuat terobosan dengan memberikan imbauan lisan kepada para kepala desa agar tidak lupa mendirikan BUMDes di desanya masing-m

Menyumbat Korupsi Dana Desa

Watak culas koruptor di negeri ini tidak mudah dibendung. Meski diancam hukuman berat sekalipun, perilaku korup tetaplah merajalela. Tak ayal, dari 168 negara, Indonesia masih berada pada deret menengah ke bawah negara bersih koruspi. Peringkat buruk itu tentu makin sulit diperbaiki manakala kita tidak pandai-pandai menutup celah korupsi. Terlebih, uang rakyat yang dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat terus bertambah. Salah satunya adalah aliran dana desa.   Dana desa bergulir atas amanat Undang-Undang No. 6/2014 tentang Desa. Anggaran tersebut terbilang besar. Berdasar data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), jumlahnya untuk tahun ini saja mencapai Rp21 triliun.   Anggaran tersebut tersebar pada 72 ribu desa di seluruh Indonesia. Bayangkan jika desa tersebut terjangkit virus korupsi. Alih-alih kian sukses meningkatkan indeks persepsi korupsi, bangsa ini tentu akan makin terpuruk. Karena itulah, mulai tahun ini BPK mengaudit pengelolaan dana desa.  Pemerintah Pusat mengangg

Dana Desa dan Masa Depan Pertanian

Pada 2016 ini, seperti disampaikan Gubernur Zaini Abdullah, Aceh mendapat alokasi dana desa (ADD) sebesar Rp 3,8 triliun, yang diperuntukkan bagi 6.474 gampong yang tersebar di 23 kabupaten/kota (Serambi, 4/11/2015). Kita tentu berharap dengan alokasi dana desa yang begitu besar, tidak membuat para pemangku jabatan atau aparatur gampong, semisal keuchik (kepala desa) selaku pemegang amanah tertinggi dalam pemerintahan gampong terjerat dengan masalah hukum di kemudian hari. Dana tersebut menjadi beban berat sekaligus juga modal berharga bagi pembangunan di tingkat gampong jika dikelola dengan baik dan tepat sasaran. Namun jika pengelolaan tidak berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan, maka dana besar itu justru akan menjadi musibah. Seperti kasus yang terjadi di beberapa daerah saat pertanggungjawaban ADD 2015 lalu. Kita ketahui, di gampong, dana yang bergulir biasanya hanya sekitar puluhan juta, sehingga tidak terlalu memusingkan mereka dalam mengelolannya. Tujuan ADD seperti yang t