Skip to main content

Korupsi Anggaran Desa

Praktik korupsi anggaran desa semakin meningkat sejalan dengan membesarnya kucuran dana transfer pusat dan daerah. Dana transfer dari pemerintah pusat, yakni dana desa, tahun 2016 sebesar Rp 46,7 triliun yang diberikan bagi sekitar 74.000 desa seluruh Indonesia.
Ilustrasi/Anak Desa
Setiap desa denganrumus perhitungan anggaran mendapatkan kucuran dana desa (DD) rata-rata Rp 650 juta per tahun. Sementara kucuran dana transfer daerah dalam wujud alokasi dana desa (ADD) bervariasi besarannya. Di Jawa Tengah, besaran ADD setiap desa rata-rata Rp 100 juta-Rp 400 juta per tahun.

Postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dari sisi penerimaan hampir mencapai Rp 1 miliar, yang bersumber dari DD, ADD, ataupun dana bagi hasil pajak daerah. Anggaran sebesar itu mendorong perilaku penyimpangan anggaran oleh jajaran aparatur desa, khususnya kepala desa. Alhasil, seperti diberitakan harian ini, praktik korupsi DD dengan aktor kepala desa dan perangkat desa kurun 2015-2016 semakin sering terjadi dan beberapa menjadi kasus hukum yang disidang di Pengadilan Tipikor (Kompas, 9/9).

Modus penyalahgunaan

Modus penyalahgunaaan APBDes, khususnya DD ataupun ADD, bisa dibedakan menjadi beberapa kasus. Pertama, pemangkasan anggaran publik untuk kepentingan perangkat pemerintahan desa. Anggaran publik yang dipangkas adalah anggaran dalam APBDes yang peruntukannya untuk mata anggaran pemberdayaan masyarakat dan pembangunan desa. Pemangkasan anggaran tak memperhatikan skema APBDes atau mengabaikan landasan ”ideal” anggaran, yakni Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa.

Kedua, penjarahan anggaran operasional pemerintahan desa. Penjarahan anggaran operasional pemerintahan desa biasanya dilakukan kepala desa. Kepala desa yang dalam aturan Permendagri No 113/2015 diposisikan sebagai pemegang kuasa pengelolaan keuangan desa dengan sewenang- wenang menggunakan anggaran yang peruntukannya untuk kepentingan membiayai administrasi program pemerintahan desa untuk kepentingan memperkaya diri. Sebagai catatan, pos mata anggaran untuk operasional pemerintahan desa termasuk untuk penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa persentasenya cukup besar, yakni 30 persen dari DD dan ADD.

Ketiga, permainan proyek anggaran kegiatan. Aktor pelaku korupsi dan penyimpangan anggaran desa (APBDes) mempermainkan proyek kegiatan pemberdayaan masyarakat dan pembangunan fisik di desa. Modus yang digunakan, mengurangi volume anggaran untuk butir-butir kegiatan atau melakukan efisiensi dalam plafon anggaran yang tak sesuai perencanaan yang tertuang dalam APBDes ataupun Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes).

Menyuburnya korupsi anggaran desa disebabkan lemahnya kontrol dan pengawasan dari masyarakat. Masyarakat desa belum memiliki kesadaran untuk ”melek” anggaran, termasuk mereka yang menjadi bagian organisasi masyarakat sipil di desa, seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Alhasil, kekuasaan kepala desa yang begitu dominan dalam pengelolaan anggaran desa membuat fungsi BPD jadi lemah.

BPD seolah menjadi lembaga stempel kebijakan perencanaan pembangunan dan penyusunan anggaran desa, tetapi tak memiliki kekuasaan untuk menjatuhkan sanksi sosial dan sanksi administrasi pemerintahan. BPD dalam skema UU No 6/2015 seolah hanya menjadi institusi partner pemerintah desa dan bukannya lembaga legislasi desa.

Sistem kelola anggaran

Korupsi atau penyalahgunaan anggaran desa sebenarnya bisa ditelisik dalam dimensi paradigma kelola anggaran desa. Paradigma kelola anggaran desa yang baik dan akuntabel adalah yang memiliki karakter transformatif pro yuridis: patuh, taat, dan disiplin sesuai ketentuan hukum dan perundang-undangan.

Acuannya teknis pelaksanaan adalah Permendagri No 113/2015 mengenai Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa dan Permendagri No 114/2015 tentang Pembangunan Desa. Dimensi transformatifnya adalah dalam perencanaan anggaran desa yang melibatkan partisipasi masyarakat desa dalam forum musyawarah pembangunan desa. Masyarakat juga diberi ruang dalam penyusunan, pelaksanaan, dan pengawasan anggaran desa.

Adapun paradigma kelola anggaran yang cenderung tidak berkembang adalah berwatak administratif-birokratis. Pengelolaan anggaran yang dilaksanakan kepala desa dan aparatur pemerintah desa kebanyakan orientasinya text book. Dari alur perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban disesuaikan dengan hal yang bersifat teknis dan rigid, yang diatur dalam regulasi pemerintah pusat, baik dalam peraturan pemerintah, permendagri, maupun permendesa.

Paling memprihatinkan adalah paradigma kelola anggaran yang bersifat distortif-koruptif. Pengelolaan anggaran oleh pemerintah desa kepala desa dan aparatur desa yang seolah mematuhi ketentuan regulasi pengelolaan anggaran, tetapi sesungguhnya sekadar artifisial, sekadar mematuhi tahapan pengajuan anggaran, penyusunan anggaran, dan pelaporan pertanggungjawaban anggaran. Namun, dalam implementasi anggaran justru terjadi penyimpangan secara sistematis dengan ditutupi dokumen ”aspal” (asli tapi palsu). Kelincahan pelaku penyimpangan anggaran desa dalam menyusun pertanggungjawaban administrasi keuangan desa semakin membantu praktik korupsi DD.

Watak feodalisme kepemimpinan kepala desa secara tak langsung menjadi faktor pendorong terjadinya korupsi dan penyimpangan anggaran desa. Kepala desa yang ”feodal” menganggap personalitas dirinya sebagai ”raja kecil” dalam struktur pemerintahan desa. Menginterpretasikan otonomi desa dan hak asal-usul desa sesuai kepentingan pribadi dan kelompok, bukannya masyarakat desa.

Untuk itulah, dalam rangka mencegah korupsi anggaran desa dan mengembalikan marwah anggaran desa untuk kepentingan masyarakat desa, dibutuhkan monitoring berbasis komunitas. Aktor yang harus aktif berperan adalah organisasi kepemudaan, organisasi sosial masyarakat, akademisi, dan media. Monitoring pengelolaan keuangan desa diperlukan untuk mengeliminasi anggaran desa yang semakin besar dari indikasi korupsi dan kebocoran. Monitoring berbasis komunitas adalah amanah konstitusi agar visi pembangunan desa memuliakan martabat dan hak masyarakat desa.

Yang lebih penting dari pembaruan paradigma anggaran desa dan monitoring masyarakat adalah aktualisasi dari semangat: stop korupsi anggaran desa!

Oleh Trisno Yulianto 
Koordinator Kajian Transparansi Anggaran Desa (FORKATA) Magetan, Alumnus FISIP Undip. (Sumber: Kompas cetak, 17 November 2016)

Comments

Popular posts from this blog

Kode Rekening APBDes pada Aplikasi SisKeuDes

Kode rekening  APBDes  pada Aplikasi Sistem Keuangan Desa (Siskeudes)  terdiri dari 4 level yang terdiri dari: (a) Akun, (b) Kelompok, (c) Jenis, dan (d) Obyek.  Kode rekening APBDes level 1 s.d 3 sudah dibakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. Sedangkan kode rekening APBDes pada level 4 disusun sesuai dengan kebutuhan daerah dengan memperhatikan Permendagri 113 Tahun 2014. Kode rekening pada level 4 pada  Aplikasi Siskeudes  adalah kode rekening default yang disusun berdasarkan modul Bimkon yang diterbitkan Deputi PPKD BPKP. Kode rekening tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Masing-masing Pemda dapat melakukan perubahan rekening tersebut dan dibakukan melalui Peraturan Kepala Daerah yang mengatur tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa.  Perubahan kode rekening per desa pada aplikasi Siskeudes tidak diperbolehkan dan harus dibakukan seragam untu...

Cara Mudah Meng-edit atau Menghapus Data Kepala Keluarga Aplikasi Prodeskel

Apabila setelah mengiput data KK pada aplikasi prodeskel, ternyata ada kesalahan, maka anda dapat meng-edit atau menghapus data KK tersebut. Caranya sebagai berikut Pertama, login ke aplikasi prodeskel, kemudian klik DDK -> entry data. Maka akan tampil data KK yang telah di input. Perhatikan tanda/ logo pensil kuning yang kami beri tanda. Kedua, klik tanda pensil untuk data KK yang akan anda edit atau hapus. Maka akan muncul seperti gambar di bawah ini Ketiga, edit bagian yang salah, kemudian klik simpan. Atau hapus data KK tersebut. Selesai, mudah bukan? Catatan: Akan lebih menghemat waktu jika anda mengedit KK dibanding menghapus KK. Apabila KK tersebut dobel atau sudah pernah dimasukkan, timpa saja data yang ada dengan data KK baru, kemudian simpan

Aplikasi Input BIP (Aplikasi Input KK dan AK Profil Desa dan Kelurahan)

Awal Mula Aplikasi Input BIP Aplikasi ini awalnya kami sebut aplikasi INPUT BIP . Karena pada saat instalasi, aplikasi ini akan membentuk shortcut pada deskto dengan nama INPUT BIP. Lambat laun, aplikasi ini berubah nama sesuai fungsinya menjadi Aplikasi Input KK dan AK Fungsi Aplikasi Aplikasi ini adalah aplikasi sederhana yang berfungsi memindahkan data KK dan AK secara cepat ke Prodeskel. Cukup dengan menekan satu tombol di keyboard, aplikasi ini akan mengisi otomatis data KK dan AK, kemudian menyimpannya secara otomatis pula. Bandingkan dengan anda harus mengisi manual dari excel ke prodeskel. Dengan aplikasi ini, hitungan detik dan tidak perlu khawatir salah memasukkan data. Detail Aplikasi Aplikasi ini terdiri dari 2 bagian: Aplikasi Input KK dan Aplikasi Input AK. Sesuai namanya, aplikasi input KK berfungsi menginput KK dan Aplikasi Input AK berfungsi menginput AK. Masing-masing aplikasi terdiri dari versi. Versi 1 tidak menyimpan otomatis. Versi 2 menyimpan otomatis. Versi 1 mu...